photos by Suryo Wibowo
music performed by Syaharani and the ESQI:EF at Ngayogjazz 2014, Yogyakarta, Indonesia November 22, 2014 The following article is not my work. It's a work from Oscar Motuloh, the curator of Galeri Fotojurnalistik Antara, Jakarta, Indonesia.
I'm posting this as a respond to reminding my fellow photo journalist friends about the cosmetic in photo journalism. Unfortunately, this article was written in Bahasa Indonesia, so for you who might not able to read it, please use google translate to translate it for you. best regards Suryo Wibowo --------------------------------------------------------------------------------- World Press Photo 2013 KOSMETIKA FOTOGRAFI JURNALISTIK INTERNASIONAL November 1979. Setting ceritanya di Tehran. Ketika anti-AS melanda seluruh negeri yang baru saja menumbangkan rezim Shah Iran Reza Pahlevi. Ratusan pemuda Revolusioner menerobos kedubes AS di ibukota Iran tersebut dan menyandera 56 warga AS sampai setahun kemudian. Namun enam di antaranya berhasil kabur dan minta perlindungan di kediaman resmi Dubes Kanada, Ken Taylor pada saat itu. Karena penyanderaan terus berlarut maka CIA dan Setneg AS mulai merancang cara untuk menyelamatkan mereka dengan melibatkan seorang agen penyusup bernama Tony Mendez yang menyarankan misi penyelamatan sandera dengan kedok melakukan pembuatan film sci-fi di Tehran berjudul Argo, lengkap dengan casting dan elemen produksi bahkan publikasinya sekaligus. Di The Dolby Theatre, California, AS, Senin siang (25/2), film Argo arahan bintang Hollywood, Ben Affleck yang sekaligus memerankan tokoh Mendez tadi, diputuskan memenangi Film Terbaik versi Academy Award alias Oscar, setelah menyisihkan kandidat kuat lainnya, macam Lincoln, Life of Pi, Zero Dark Thirty, Beasts of the Southern Wild, Silver Linings Playbook, Les Miserables dan Django Unchained. Begitu pentingnya film pembebasan sandera AS yang kisahnya baru diperbolehkan dipublikasikan pada 1997 tersebut, sekaligus menghormati anugerah Oscar yang telah memasuki tahun penyelenggaraan ke 85, sampai ibu negara AS, Michele Obama yang mengumumkan penghargaan tersebut melalui sambungan video khusus langsung dari Gedung Putih. Lincoln, film besar Steven Spielberg dengan aktor Inggris Daniel Day Lewis yang memenangi Oscar untuk peran utama pria dalam ajang Oscar kali ini dan digadang-gadang majalah berita Time sebagai pencapaian besar dunia akting sepanjang masa, akhirnya harus mengalah pada Argo yang diarahkan oleh sutradara yang sebelumnya hanya dikenal luas dalam perannya di film-film “action romantis” macam Pearl Harbour, Armageddon atau yang benar-benar “pop-corn” macam Gigli. Argo diangkat dari kisah nyata berdasar buku Mendez, “The Master of Disguise”, digabung dengan materi dari artikel "Escape from Tehran" yang ditulis Joshuah Bearman. Adaptasi Penulisan Scenario terbaik juga disabet Argo melalui Chris Terrio, sementara kategori Penyuntingan Terbaik diraih William Goldenberg untuk film yang sama. Seperti film unggulan lainnya, Lincoln dan Zero Dark Thirty, sutradara dan kru Argo juga sangat saksama untuk membuat film mereka menjadi karya cinematografi yang serealistis mungkin produksinya. Tentu demi pencapaian logika agar drama tutur visual dari kisahnya mampu menyentuh sanubari para pemirsa film-film bermutu. Ketika para insan film berjibaku meraih atmosfir realitas ke dalam dunia penciptaan cinematografi mereka, justru belantara fotografi jurnalistik internasional yang sangat puritan melandaskan nafasnya pada atmosfir dan momentum kenyataan, kini cenderung lebih genit dan tak lagi sepenuhnya realistik. Mereka terlalu sibuk berdandan ria membedaki wajah dan menggincu bibir. Meskipun tetap konsisten menangkap momentum dalam peristiwa yang sesungguhnya. Sepuluh hari sebelum perhelatan ajang Oscar tadi, penghargaan paling prestisius bagi para kuli citra sedunia yang di selenggarakan Yayasan World Press Photo (WPP) diumumkan di markas besar mereka, Amsterdam. Untuk kesekian kalinya pewarta foto dari tanah Skandinavia memenangi “Photo of the Year” alias karya fotografi jurnalistik terbaik dari seluruh kategori anugerah paling akbar sedunia yang kini telah memasuki pelaksanaan tahun yang ke 56. Sang pemenang, Paul Hansen, adalah kuli citra Swedia yang menetap di Stockholm. Dia bekerja sebagai staf fotografer di harian lokal Dagens Nyheter. Berkat penugasan dari kantornya, termasuk reportase yang diprakarsainya sendiri membawanya berkelana jauh di seputaran jagad ini. Hansen memilih bekerja dengan gaya multimedia, termasuk menuliskan sendiri kisah jurnalistiknya. Akibatnya Hansen mendapat kredibilitas positif dari khalayak pembaca korannya. Dalam situs WPP, Hansen disebutkan sebagai pewarta foto kawakan dan tangguh di negerinya. Dia telah meraih tujuh kali anugerah pewarta foto terbaik secara domestik. Ada empati dalam karakter foto-foto yang diabadikannya. Pencapaian Hansen menjadi semacam perampungan titian kiprah para pewarta foto kawasan Skandinavia yang meraih penghargaan tertinggi dari kontes paling bergensi sedunia sejauh ini. Dia meneruskan kisah sukses dari para pewarta foto tanah Viking yang meraih penghargaan dari reportase mereka sebagai musafir jurnalistik visual jauh dari tanah air mereka yang damai sejahtera. Tanah air regional orang-orang beradab, tenteram, meskipun sempat ternoda oleh secuil tindakan chauvinistik di Oslo pada bulan Juli 2011 ketika Anders Behring Breivik membantai 77 remaja di perkemahan Liga Pemuda Buruh. Hansen menjadi penerus para pewarta foto kawasan yang melanjutkan suksesi keberadaan mereka. Adalah fotografer Denmark, Mogens Van Haven yang pertama kali dalam sejarah WPP meraih penghargaan terbaik dalam penyelenggaraan kontes perdana pada tahun 1955 di Amsterdam. Imaji yang dimaksud adalah cuplikan momentum dari suatu kecelakaan yang menimpa seorang pebalap dalam ajang Kejuaraan Dunia Motorcross yang diadakan di Volk Molle. Setelah itu para pewarta foto Skandinavia terus berkiprah dalam kontes yang tahun ini diikuti 5.666 pewarta foto dari 124 negara yang menampilkan 103.481 karya foto. Sementara di awal dekade ini (1999), baru sekitar 3.733 yang tercatat sebagai peserta, 116 negara dengan 36,836 karya foto jurnalistik. Hansen meraih citra terbaik WPP tahun ini dari cuplikan persitiwa berdarah yang terjadi di jalur Gaza. Kawasan Palestina ini merupakan areal yang tahun ini menjadi lokasi terbanyak kedua yang memperoleh pemenang (3 pewarta foto), di bawah lokasi berdarah di Suriah (5 pemenang). Keberadaan ini agak mengabaikan perihal kembalinya “wabah“ kejahatan bersenjata oleh pelaku tunggal yang di lakukan warga AS di negeri mereka sendiri. Dimulai dari akhir Juli pada 2012, nyaris setahun persis setelah pembantaian remaja yang dilakukan Breivik di suatu pulau kecil di Oslo, Norwegia. Di bioskop Century di kota kecil Aurora di Colorado, AS, saat penggemar fanatik Batman baru saja duduk menyaksikan penayangan perdana film Batman: Dark Knight Rise. Sekonyong-konyong seorang psikopat bernama James Eagan Holmes mengamuk lalu menembaki penonton dengan senjata otomatisnya. 12 penonton wafat dan 60 lainnya luka-luka. Pewarta foto dari Agensi Magnum, Paolo Pellegrin mengabadikan cerita kemiskinan dan kekerasan narkoba di kawasan berbentuk bulan sabit di Rochester, New York. Karyanya kemudian dicuplik menjadi pemenang kedua dalam kategori General News. Reputasi pria kelahiran Roma tahun 1964 itu tentu adalah suatu jaminan kredibitas dalam fotografi jurnalistik dunia, namun bukankah cerita serupa di AS sudah berkali-kali ditampilkan dalam ajang ini, termasuk yang secara khusus oleh Anthony Suau, Eugene Richards bahkan Mary Ellen Mark. Mereka bahkan mengaitkannya dengan industri militer yang menjadi biang keladi dari seluruh perang dan kriminal secara global. James Nachtwey, pewarta foto perang yang kini begitu pasifis suaranya akhirnya harus melakukan reportase di kampung halamannya yang hancur oleh tindakan teroris yang meleburkan Menara Kembar New York pada 11 September tempo hari. Kota tua yang dicintai dunia, namun dilumat sekejap oleh pengguna jasa industri militer yang menjadi bisnis utama negaranya. Meskipun adalah tepat memilih kepingan peristiwa Gaza yang di klik oleh Hansen sebagai perlawanan suara hati pers internasional atas keterlibatan AS dan sekutunya di Timur Tengah yang menjadi ikhwal utama konflik dunia, namun dewan juri WPP tahun ini yang dikomando oleh Sebastian Lyon dan 16 anggota dewan juri lainnya yang datang dari kantor pers di 5 benua mestinya juga berhasil menyampaikan konten peristiwa yang signifikan yang berasal dari cikal bakal peralatan yang memicu kekerasan. AS adalah tanah air senjata api dan rudah balistik nuklir yang sewaktu-waktu dapat digunakan para anarkis dan siapapun pencinta kriminal di seluruh penjuru dunia. Suatu hasil pencapaian teknologi mutakhir peralatan pemusnah manusia yang ironisnya dikembangkan dari Swedia, tanah airnya Alfred Nobel sang penemu dinamit yang kemudian masyhur dengan penghargaan Nobel nya yang sangat prestisus itu. Tak ada kejutan berarti yang muncul dalam WPP tahun ini kecuali kekuatan momentum peristiwa yang terekam melalui kamera milik Hansen tadi. Namun yang menggembirakan, adalah keberhasilan Lutfi Ali, seorang pewarta foto Solo, kontributor koran berbahasa Inggris Jakarta Globe yang berhasil meraih penghargaan sebagai pemenang kedua kategori Nature dalam format foto tunggal. Dia menambah panjang daftar insan pers Indonesia yang beroleh tempat terhormat di WPP, macam Sholahuddin, Kemal Jufri, Kartono Ryadi, Tarmizy Harva, Zaenal Effendy dan Piet Warbung. Lutfi mengabadikan suatu imaji yang sederhana namun kuat dari sepenggal persiapan penampilan seekor kera bertopeng manusia sebelum melakukan pertunjukan topeng monyet. Foto tersebut di beri judul: Mimin. Satu lagi lokasi Indonesia yang menjadi tempat kemenangan adalah dalam kategori Sport Action. Namun momentumnya diabadikan Chen Wei Seng seorang fotografer salon anggota perhimpunan The Photographic Society of Malaysia yang dibentuk pada tahun 1956. Chen sendiri baru bergabung dengan perkumpulan para hobbis tersebut pada tahun 2005. Imaji yang diabadikannya dengan lensa panjang adalah foto aksi atraksi tradisional Pacu Jawi, di kawasan Tanah Datar, di Sumatera Barat. Atraksi lomba ketangkasan mengendalikan sepasang sapi pacu tersebut merupakan suatu kegiatan diantara panen dan dimulainya musim tanam. Ekspresi joki yang tertangkap kamera Chen mungkin yang menjadi daya tarik utama dari para juri foto olahraga yang diketuai oleh Bill Frakes, fotografer Sports Illustrated yang mengingatkan orang pada adu kereta kuda dalam film klasik Hollywood, “Ben-Hur“. Imaji yang mengesankan dewan juri WPP itu adalah atmosfir yang sudah lima tahun belakangan tak lagi menarik bagi para juri foto lokal karena kemungkinan besar akan menggesarnya dari meja pertarungan begitu imaji tersebut tampil dalam suatu lomba. Namun satu hal lagi yang menarik dari WPP 2013 ini adalah pengaruh dari fenomena post-processing laboratorium alias kamar gelap jaman digital yang menghiasi majalah-majalah berita besar di dunia termasuk Time. Mirip seperti program yang kerap digunakan para fotografer wedding kala mendandani wajah para kliennya. Para pewarta foto dapat melakukan sendiri post-pro ini, atau bagi sejumlah nama besar, cukup menyerahkan filenya pada ahlinya. Lima tahun belakangan sejumlah perusahaan yang bergerak dalam jasa citra ini terus bermunculan. Sebagai penyelaras akhir secara visual sebelum digunakan klien-klien mereka, 10b Lab, misalnya, adalah salah satu penyedia jasa kamar gelap digital paling berpengaruh di dunia fotografi jurnalistik saat ini. Pewarta foto dari agensi Magnum, Noor bahkan VII, adalah klien mereka. Pendiri lab digital itu adalah Claudio Palmisano seorang programer komputer dan sohibnya Francesco Zizola. Pewarta foto Finbarr O’Reilly, Paolo Pellegrin, Marcus Blesdale dan Yuri Kozyrev adalah pengguna jasa mereka sejak lama. Pada karya Hansen, meskipun post-pro tak dikerjakan oleh 10b, namun polesan kamar gelap digitalnya cukup kental terasa. Mari simak dramatisasi keselarasan atmosfir warna pada peristiwa yang terekam dalam lensanya. Suatu pengontrolan diri yang luarbiasa dilakukan Hansen dalam pusat pusaran konflik di dunia. Dengan speed 1/800 dan ketajaman ruang f.5, di suatu pencahayaan yang cerah, dengan kamera canggih Canggih 5D mark III, Hansen berlari kecil di depan iring-iringan jenasah kakak beradik Suhaib dan kakaknya Muhammad Hijazi yang digendong sanak keluarga menuju ke masjid terdekat untuk prosesi pemakaman. Anak-anak Palestina ini adalah korban serangan roket maut Israel yang menghantam kediaman mereka di Gaza. Ayah mereka, Fouad, wafat seketika setelah serangan sementara ibu mereka tengah menjalani perawatan darurat di RS Gaza. Rekaman momentum peristiwa yang diabadikan Hansen tentu adalah peristiwa lapangan yang sesungguhnya. Namun penentuan dramatisasi polesan kamar gelap digital Hansen atas kondisi atmosfir lapangan rasanya tak lagi sepenuhnya realistis. Apalagi pencapaian teknologi fotografi digital kini dapatlah dikatakan telah melampaui kemampuan teknis penglihatan aktual mata manusia. Sehingga pengertian realistis secara konvensional tetaplah suatu landasan pokok perihal kesaksian yang diabadikan dalam nurani kamera setiap pewarta foto. Macam pengertian pleonasme dalam tata bahasa. Pleonasme adalah suatu majas atau gaya bahasa yang artinya kurang lebih seperti kalimat yang menggunakan kata-kata lebih dari yang dibutuhkan. Semacam kosmetika dalam fotografi jurnalistik. Jika tata rias yang simpel telah cukup membawa kesaksian visual seorang pewarta foto dalam karya fotografi jurnalistiknya yang jujur, kenapa imaji tersebut harus didandani secara berlebihan dan menor seperti para programer yang memoles wajah para balon eksekutif sedemikian rupawan dalam spanduk pilkada yang mengotori sudut-sudut pemandangan kota. Pesta gemerlap di The Dolby Theatre telah usai, para pembuat imaji fiksi dalam cinematografi dunia telah kembali ke kediamannya masing-masing, barangkali untuk membersihkan kosmetika basa-basi yang menempel di wajah dan bibir ranum para aktris pendukung. Sorot lampu perlahan memudar seolah mengantar mereka kembali ke alam realita kehidupan yang berputar seperti detak jam di dinding. Atau mungkin seperti detak jantung seorang pewarta foto yang tengah berjalan menyusuri lorong terakota usai meliput perhelatan besar yang barusan berlalu. Kemudian dia sempat membaca selintas tagline dalam baliho film Argo yang tersapu kilatan lampu mobil. Begini bunyinya, “The movie was fake, the mission was real“. oscar motuloh pewarta foto Antara International Labour Day. May 1st, 2014. Yogyakarta, Indonesia
As the mount Kelud erupted on Thursday, February 13th 2014, it should have spewed more than 150 milions cubic meters of material in a 17 kilometers high column. A very comprehensive article about this eruption: Kelud si Gunung Penyapu Peradaban (in bahasa Indonesia).
Yogyakarta and surrounding areas were affected by the volcanic ash. For people of Yogyakarta and around Mount Merapi: a nightmare remembering what had happened in 2010. The volcanic ash were spread to parts of Java, shutting seven airports, and were making the time pace in cities slower. The air were deadly since the volcanic ash contained dangerous minerals such as sulfuric acid, silica, and quartz particles. and for the gods in their representation forms? even they also can't escape the "grey matter"... The owner of Titanic once bragged that Titanic won't sink. But he was wrong. Titanic sunk in the cold Atlantic Ocean. Human has always underestimated the power of nature. Mother earth has always proven that she is strong. Once again, the human have to learn to take care of the nature. Some say it's dying because we polluted it with our garbages. But even if it's dying, like any wild animals, it has the power to strike back.
An invincible power.
Winkhaing was typing on his smartphone screen a short message to his family when two mini buses arrived in Bantul Region's safe house carrying 12 new Hazara asylum seekers from Afghanistan. Winkhaing watched as the buses stop in front of one of the houses and as the newcomers were welcomed by their countrymen. He asked an immigration officers where they were from in almost fluent Bahasa Indonesia. These 12 were transferred from Tanjungpinang safe house in Riau Province, Indonesia.
Like him and his roommates, asylum seekers who were caught on Indonesian soil and sea were placed in safe houses belonging to the Indonesian Social Departement. Facilitated by International Organisation for Migration (IOM), Winkhaing and dozen assylum seekers from troubled countries have to wait for their dreamed future: Australia. Most of the assylum seekers were captured by Indonesian Police or Navy for entering Indonesia illegaly to reach Australia. The stories of migrating to find the dreamed future seemed to stop there and changed into moving to the next safe house to another safe house inside Indonesia to find sanctuary. Most of them didn't know yet that Australia Prime Minister, Tony Abbott announced the new policy to stop the immigrants flow into Australia. This policy, however, has won a seat for Mr. Abbott who put it in his campaign programs. On his trip to Jakarta on September 30th, 2013, he said that he remained committed to crushing the "evil scourge" of people-smuggling. His hardline boatpeople policy did received hard critics from activists. Meanwhile, Indonesian officials complained that his plans to tackle asylum-seekers arriving by boat threaten Indonesian sovereignity. "We are 100 per cent committed to stopping the boats, we are 100 per cent committed to the policies that we took to the election and the policies that are necessary to stop the boat" so he says quoted by Agence France Presse in Jakarta, September 30th after the meeting with Indonesian President Susilo Bambang Yudhoyono. Two days before Abbott's visit to Indonesia, a boat capsized and sank in waters off West Java’s Sukabumi district after being hit by high waves Friday. Survivors said about 100 people were aboard the vessel. The death toll were 22 and 34 were still missing. The boat were packed with asylum seekers who tried to reach Australia's Christmas Island, about 500 kilometers south of Indonesian capital, Jakarta.It was capsized and dragged by the waves back into Indonesian territory. As I met Winkhaing and his room mates, he hasn't heard about Tony Abbott's new policy. And as he left Myanmar in 2010, he didn't envisage that he would spend 3 years in Indonesia, moving from one city to another city facilitated by IOM. He wondered when he and his friends were going to be called for a seat to Australia. All he knows that if other groups were leaving from the safe house, they were only being moved to another city. For him, this pattern of moving and moving were only causing confusion and false hopes. Hopes that this is the final call for Australia. I asked him what about Indonesia since he speaks Bahasa Indonesia quite well. He looked down to his phone and said "I don't know. I hope I can go to Australia, but all I can do now is waiting." But I can't catch a sound of hope in his voice. Before you read this entry you should bear in mind that I'm not their supporter nor their fan. I don't reckon their actions as adorable. But it was an example for vigilant lawless and brutal acts. ---------------------- For the first time in the Indonesia (if not the world) that a group of elite force attack one of their own country law institution. Ignoring the presence of the state's warranty to it's citizen under the law. And all just for the sake of revenge. They were maybe law abiding citizen, soldiers who unfortunately can't believe in the law anymore. The bond between each member and to their group is falsely stronger than their loyalty to the flag on their chest. This false loyalty, unfortunately, was blessed by the president when he called them as "noble". Dear Mr. President, wouldn't you agree, that the loyalty of a soldier should address the country, not the corps. I felt upset following the army trial which was all just jokes and effort to save the army, not saving the state and the constitution. The court even used the term "preman" indonesian word for thugs, to call those 4 death victims caused by this prison ambush. Using this term on a court gave the effect that this killings was righteous and the attack on a state institution become less important. Using the term thugs to call those victims was already a discrimination in front of the law, not equality. Imam Anshori Saleh, a commisioner for the Judicial Commision, who attended the last trial of the executor found that the using of this term "preman" as inappropriate so he said to TEMPO.co. Sad to know that the constitution was played like a doll by the army tribunal for the last 11 weeks starting from June 20th until September 5th, 2013. In the end, the trial didn't bring justice but more injustice for the state itself. It brought no justice for the dead victims and their families. It brought no justice to the families of those 12 soldiers. The Jakarta Post wrotes: After hearing the verdict, I ran quickly to the cells behind the court rooms to cover the soldiers and their families. The wives and children, most of them in red clothes were waiting, some sobbing and some others comforting each other. One of the two Sergeant Major Zaenuri comforted his two children inside the cell while talking to his wife. The parents of these soldiers couldn't hold their tears knowing that their sons (3 of the 12) were fired from military duties.
Wearing the red berret was a dream for each indonesian soldiers and pride for their families. Only some could wear it. As a human being, I know that they were brutal in their action. But seeing these moments, I felt touched and I also see them as human. I kept shooting several frames to capture these family moments until one of their supporters covered my lens with his palm and a military police officer pulled me hard to go away and forbid me to take pictures near the cells. I could only hold my breath when I saw her. A beautiful woman, holding two basket of flowers. Despite the weak lighting, I could see her face. Standing out, in the middle of candle lights. I follow her and her performace. Not only that she was so beautiful, her performance of Woman and Hope was amazing.
|
|